Rabu, 21 Desember 2016

Kalkun Pak Malawi

Pak Malawi adalah tetangga baru dilingkungan tempat tinggalku. Ia seorang pensiunan BUMN di kota besar. Memilih pindah ke kampungku untuk mencari ketenangan.

Sebagai warga baru ia tergolong cepat beradaptasi. Sangat ramah, murah senyum dan ringan tangan. Tak heran ia cepat dikenal oleh hampir semua warga disekitar tempat tinggalku. Aku kerap mendengar puja-puji tentang pak Malawi saat ayahku kedatangan warga kerumah. Karena ayahku adalah ketua RT di sana.

Pak Malawi dan istrinya cukup aktif mengikuti kegiatan yang diadakan di kampungku. Mulai dari kerja bakti, pengajian, arisan Rt dan masih banyak lagi. Wajar jika ia semakin dikenal oleh warga sekitar.

Pak Malawi hanya memiliki satu anak lelaki. Namanya Dimas. Aku berkenalan dengannya saat ia sekeluarga datang kerumah untuk lapor diri sebagai warga baru. Sifat kedua orangtuanya menurun padanya. Wajar jika muda-mudi dikampungku segera menggunjingkan dirinya. Dalam artian positif tentunya.

     “Dimas itu ramah ya? Di mana pun ketemu pasti menyapa terlebih dulu,” celoteh Dinda suatu hari.

     “Iya, ibuku saja memuji-muji Dimas yang katanya menantu idaman. Tampan, baik, ramah dan tidak sombong,” celoteh Ria kawanku lainnya pada suatu waktu.

     “Ah, seandainya aku belum punya pacar, aku kejar dia sampe dapet deh,” timpal Rina kawanku satunya lagi.

Aku tersenyum mendengar celotehan kawan-kawan tentang Dimas.

     “Kamu sudah kenal dengan Dimas kan Wulan?” tanya Rina.

     “Sudah. Waktu datang lapor diri dengan kedua orangtuanya,” sahutku.

     “Trus apa pendapatmu?” tanya Rina lagi.

     “Ya, biasa saja. Kenapa memangnya?” kataku balik bertanya.

      “Suka gak? Dia cakep loh! Apalagi sorot matanya yang tajam itu. Bisa bikin klepek-klepek hati. Ditambah dua alis yang tebal hitam. Kayak artis sinetron Sandi Syarif itu loh! Alamak indahnya ciptaan Tuhan satu itu,” ujar Rina.

     Aku tergelak mendengar cerita Rina. Lebay sekali dia.

    “Jangan lebay ah. Biasa aja kali. Aku sih gak terlalu perhatiin waktu dia ke rumah. Wong aku udah ngantuk sebenarnya. Tapi Bapakku kan gitu. Kalau ada tamu kita semua ya harus keluar menemui meski sebentar.”

     “Makanya kapan-kapan ikut rapat karang taruna. Tiga kali rapat kamu gak datang. Dimas nanyain tuh! Mana anaknya pak RT? Gitu katanya.”

     Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Rina.

     “Ya, kapan-kapan deh. Semoga jadwalku gak bentrok,” dalihku.

Sesungguhnya ada alasan lain yang membuatku enggan datang rapat. Apalagi semenjak rapat muda-mudi lebih sering dilakukan di rumah Dimas ketimbang di aula.

Tetapi pada suatu hari aku sungguh tak bisa menghindar dengan alasan apapun. Karena ibu yang justru menyuruhku ke rumah Dimas.

     “Wulan!” teriak ibu dari dapur.

     “Ya, Bu! Sebentar,” sahutku .

Aku yang sedang leyeh-leyeh di kamar segera beranjak keluar menuju dapur.

     “Ada apa, Bu?”

     “Tolong antarkan piring ini ke rumah Pak Malawi. Kemarin bapakmu sedang olah raga disuruh mampir. Disuguhi pisang goreng Eh, pulangnya malah disuruh bawa semua. Ini sekarang gantian piring ini ibu isi kue. Kamu antarkan ya? Ibu mau siap-siap keundangan soalnya.”

     “Sekarang Bu?”

     “Iya, mumpung kuenya masih hangat.”

     “Baiklah,” sahutku meski sejujurnya enggan. Tapi karena ibu yang memberi titah jadi ya mana bisa menolak.

Aku segera masuk ke kamar untuk ganti baju. Lalu bersiap melaksanakan titah ibu. Saat membuka pintu gerbang aku melihat Dimas melintas dengan sepeda gunungnya. Spontan kupanggil namanya saking senangnya melihat dia. Jadi aku tak perlu kerumahnya. Kutitip saja kue ini padanya.

     “Hai Dimas! Mau kemana?”

Dimas menoleh tampak kaget.

     “Hai Wulan! Tumben di rumah. Libur ya? Aku mau ke warung depan,” sahut Dimas sambil menghentikan laju sepedanya.
     
      “Iya, aku sedang libur. Kebetulan kamu lewat. Tadinya aku disuruh kerumahmu mengantarkan ini.”

      “Ya, sudah kerumah saja. Ada ibuku kok.”

      “Enggak deh. Nunggu kamu aja,” kataku.

  Dimas tersenyum.

      “Baiklah. Tunggu ya? Aku sebentar kok.”

      “Oke,” sahutku.

Aku segera menuju teras. Menunggu Dimas kembali sambil membaca majalah. Tak ada Lima belas menit tampak Dinas sudah muncul di depan rumah.

      “Yuk! Wulan. Kita bareng-bareng ke rumahkunya.”

      “Ehmm, maaf Dimas. Aku titip ini aja. Gak ikut kerumahmu,” kataku merasa tak enak hati sebenarnya.

       “Kenapa? Kok gak jadi kerumah?” tanya Dimas dengan nada kecewa.

       “Tiwas aku sudah senang banget. Rumahku gubuk sih jadi kamu enggan menginjakkan kaki di rumahku,” ujar Dimas lagi.

      “Oh, bukan gitu. Kamu jangan salah sangka. Seperti anak kecil saja,” ucapku merasa tak enak hati.

      “Lalu?”

       “Ehmm, akuuu....”

       “Sudahlah gak perlu cari alasan lain. Kemarikan titipan ibumu. Aku mau pulang,” ucap Dimas tanpa menoleh ke arahku.

     “Baiklah. Ini,” kataku sambil menyerahkan bungkusan yang disiapkan ibuku.

      “Aku gak mau kerumahmu bukan apa-apa. Tapi aku takut sama kalkun peliharaan ayahmu. Aku pernah dipatok kalkun soalnya. Jadi aku trauma,” kataku akhirnya.

Dimas terperanjat. Ia menatapku tak percaya. Tapi sejurus kemudian ia malah tergelak setelah mendengar penjelasanku. Reflek saja aku mendekap mulutnya.

      “Ssst... jangan keras-keras tertawanya. Nanti ada yang lihat dan tanya macem-macem aku kan jadi malu,” ujarku setengah berbisik.

      Dimas menatapku tak berkedip. Mungkin ia tak percaya dengan pengakuanku. Terlebih spontanitasku. Masa bodohlah. Terpenting ia tidak salah duga lagi. Tetapi aku lupa kalau dua insan berlainan jenis berdekatan bahkan nyaris berhimpitan yang hanya dibatasi tanganku yang mendekap mulutnya, timbul arus hangat di antara kami. Yang menimbulkan debar-debar halus di dada. Apalagi saat tatapan mata kami bertemu. Aku teringat kata-kata Rina bahwa sepasang mata dan alis Dimas memiliki daya pikat tersendiri. Dan kini aku membuktikannya sendiri. Sebelum ada yang memergoki kejadian ini aku segera menarik tanganku dari tubuh Dimas.

     “Oh, maafff!” kataku gugup.

   “Iya,iya..gak apa-apa,” sahut Dimas terdengar grogi.
    
     “Jangan cerita-cerita sama siapa pun ya?” Kataku.

      Dimas tersenyum.

      “Baiklah. Dan cukup aku dan kamu yang tahu tentang peristiwa ini. Aku dan kamu,” tegas Dimas lagi. Kali ini aku yang tersenyum. Selanjutnya memang hanya kami berdua yang tahu tentang kisah cinta di antara kami. Sampai saatnya tiba untuk memproklamirkan kisah cinta ini.

#onedayonepost
#desember2016
#harike-16
#tantanganmenulis
#tentangayamtanpatulisanayam